Home » renungan » Ini Kisah Renungan ' Juara 1 di Otak Atau
Juara 1 di Hati ' Ini Kisah Renungan ' Juara 1 di Otak Atau Juara 1 di Hati '
Posted by ADMIN on 20.2.12 @IkadaNewsOnline - Ini Kisah Renungan ' Juara Satu
di Otak Atau Juara Satu di Hati ' - Di kelasnya ada 50 orang murid, setiap kali
ujian, anak perempuanku tetap mendapat ranking ke-23. Lambat laun membuat dia
mendapatkan nama panggilan dengan nomor ini, dia juga menjadi murid kualitas
menengah yang sesungguhnya. Sebagai orangtua, kami merasa nama panggilan ini
kurang enak didengar, namun anak kami ternyata menerimanya dengan senang hati.
Suamiku mengeluhkan ke padaku, setiap kali ada kegiatan di perusahaannya atau
pertemuan alumni sekolahnya, setiap orang selalu memuji-muji "Superman
cilik" di rumah masing-masing, sedangkan dia hanya bisa menjadi pendengar
saja. Anak keluarga orang, bukan saja memiliki nilai sekolah yang menonjol,
juga memiliki banyak keahlian khusus. Sedangkan anak nomor 23 di keluarga kami
tidak memiliki sesuatu pun untuk ditonjolkan. Dari itu, setiap kali suamiku
menonton penampilan anak-anak berbakat luar biasa dalam acara televisi, timbul
keirian dalam hatinya sampai matanya bersinar-sinar. Kemudian ketika dia
membaca sebuah berita tentang seorang anak berusia 9 tahun yang masuk perguruan
tinggi, dia bertanya dengan hati pilu kepada anak kami: Anakku, kenapa kamu
tidak terlahir sebagai anak dengan kepandaian luar biasa? Anak kami menjawab:
Itu karena ayah juga bukan seorang ayah dengan kepandaian luar biasa. Suamiku
menjadi tidak bisa berkata apa-apa lagi, saya tanpa tertahankan tertawa
sendiri. Pada pertengahan musim gugur, semua sanak keluarga berkumpul bersama
untuk merayakannya, sehingga memenuhi satu ruangan besar di restoran. Topik
pembicaraan semua orang perlahan-lahan mulai beralih kepada anak masing-masing.
Dalam kemeriahan suasana, anak-anak ditanyakan apakah cita-cita mereka di masa
mendatang? Ada yang menjawab akan menjadi pemain piano, bintang film atau
politikus, tiada seorang pun yang terlihat takut mengutarakannya di depan orang
banyak, bahkan anak perempuan berusia 4½ tahun juga menyatakan kelak akan
menjadi seorang pembawa acara di televisi, semua orang bertepuk tangan
mendengarnya. Anak perempuan kami yang berusia 15 tahun terlihat sibuk sekali
sedang membantu anak-anak kecil lainnya makan. Semua orang mendadak teringat
kalau hanya dia yang belum mengutarakan cita-citanya kelak. Di bawah desakan
orang banyak, akhirnya dia menjawab dengan sungguh-sungguh: Kelak ketika aku
dewasa, cita-cita pertamaku adalah menjadi seorang guru TK, memandu anak-anak
menyanyi, menari dan bermain-main. Demi menunjukkan kesopanan, semua orang
tetap memberikan pujian, kemudian menanyakan akan cita-cita keduanya. Dia
menjawab dengan besar hati: Saya ingin menjadi seorang ibu, mengenakan kain
celemek bergambar Doraemon dan memasak di dapur, kemudian membacakan cerita
untuk anak-anakku dan membawa mereka ke teras rumah untuk melihat
bintang-bintang. Semua sanak keluarga tertegun dibuatnya, saling pandang tanpa
tahu akan berkata apa lagi. Raut muka suamiku menjadi canggung sekali. Kisah
Renungan, Juara Satu di Otak Atau Juara Satu di Hati Sepulangnya ke rumah,
suamiku mengeluhkan ke padaku, apakah aku akan membiarkan anak perempuan kami
kelak menjadi guru TK? Apakah kami tetap akan membiarkannya menjadi murid
kualitas menengah? Sebetulnya, kami juga telah berusaha banyak. Demi
meningkatkan nilai sekolahnya, kami pernah mencarikan guru les pribadi dan
mendaftarkannya di tempat bimbingan belajar, juga membelikan berbagai materi
belajar untuknya. Anak kami juga sangat penurut, dia tidak membaca komik lagi,
tidak ikut kelas origami lagi, tidur bermalas-malasan di akhir minggu juga
tidak dilakukan lagi. Bagai seekor burung kecil yang kelelahan, dia ikut les
belajar sambung menyambung, buku pelajaran dan buku latihan dikerjakan tanpa
henti. Namun biar bagaimana pun dia tetap seorang anak-anak, tubuhnya tidak
bisa bertahan lagi dan terserang flu berat. Biar sedang diinfus dan terbaring
di ranjang, dia tetap bersikeras mengerjakan tugas pelajaran, akhirnya dia
terserang radang paru-paru. Setelah sembuh, wajahnya terlihat kurus banyak.
Akan tetapi ternyata hasil ujian semesternya membuat kami tidak tahu mau
tertawa atau menangis, tetap saja nomor 23. Kemudian, kami juga mencoba untuk
memberikan penambah gizi dan rangsangan hadiah, setelah berulang-ulang
menjalaninya, ternyata wajah anak perempuanku semakin pucat saja. Apalagi,
setiap kali akan ujian, dia mulai tidak bisa makan dan tidak bisa tidur, terus
mencucurkan keringat dingin, terakhir hasil ujiannya malah menjadi nomor 33
yang mengejutkan kami. Aku dan suamiku secara diam-diam melepaskan aksi menarik
bibit ke atas demi membantunya tumbuh ini. Dia kembali pada jam belajar dan
istirahatnya yang normal, kami mengembalikan haknya untuk membaca komik, mengijinkannya
untuk berlangganan majalah "Humor anak-anak" dan sejenisnya, sehingga
rumah kami menjadi tenteram kembali. Kami memang sangat sayang pada anak kami
ini, namun kami sungguh tidak mengerti akan nilai sekolahnya. Pada akhir
minggu, teman-teman sekerja pergi rekreasi bersama. Semua orang mempersiapkan
lauk terbaik dari masing-masing, dengan membawa serta suami dan anak untuk
piknik. Sepanjang perjalanan penuh dengan tawa dan guyonan, ada anak yang
bernyanyi, ada juga yang memperagakan karya seni pendek. Anak kami tiada
keahlian khusus, hanya terus bertepuk tangan dengan gembira. Dia sering kali
lari ke belakang untuk menjaga bahan makanan. Merapikan kembali kotak makanan
yang terlihat agak miring, mengetatkan tutup botol yang longgar atau mengelap jus
sayuran yang bocor ke luar. Dia sibuk sekali bagaikan seorang pengurus rumah
tangga cilik. Kisah Renungan, Juara Satu di Otak Atau Juara Satu di Hati Ketika
makan terjadi satu kejadian di luar dugaan. Ada dua orang anak lelaki, satunya
adalah bakat matematika, satunya lagi adalah ahli bahasa Inggeris. Kedua anak
ini secara bersamaan menjepit sebuah kue beras ketan di atas piring, tiada
seorang pun yang mau melepaskannya, juga tidak mau membaginya. Walau banyak
makanan enak terus dihidangkan, mereka sama sekali tidak mau peduli. Orang
dewasa terus membujuk mereka, namun tidak ada hasilnya. Terakhir anak kami yang
menyelesaikan masalah sulit ini dengan cara sederhana yaitu lempar koin untuk
menentukan siapa yang menang. Ketika pulang, jalanan macat dan anak-anak mulai
terlihat gelisah. Anakku terus membuat guyonan dan membuat orang-orang semobil
tertawa tanpa henti. Tangannya juga tidak pernah berhenti, dia mengguntingkan
banyak bentuk binatang kecil dari kotak bekas tempat makanan, membuat anak-anak
ini terus memberi pujian. Sampai ketika turun dari mobil bus, setiap orang
mendapatkan guntingan kertas hewan shio masing-masing. Ketika mendengar
anak-anak terus berterima kasih, tanpa tertahankan pada wajah suamiku timbul
senyum bangga. Sehabis ujian semester, aku menerima telpon dari wali kelas
anakku. Pertama-tama mendapatkan kabar kalau nilai sekolah anakku tetap
kualitas menengah. Namun dia mengatakan ada satu hal aneh yang hendak
diberitahukannya, hal yang pertama kali ditemukannya selama 30 tahun mengajar. Dalam
ujian bahasa ada sebuah soal tambahan, yaitu siapa teman sekelas yang paling
kamu kagumi dan alasannya. Selain anakku, semua teman sekelasnya menuliskan
nama anakku. Alasannya sangat banyak: antusias membantu orang, sangat memegang
janji, tidak mudah marah, enak berteman, dan lain-lain, paling banyak ditulis
adalah optimis dan humoris. Wali kelasnya mengatakan banyak usul agar dia
dijadikan ketua kelas saja. Dia memberi pujian: Anak anda ini, walau nilai
sekolahnya biasa-biasa saja, namun kalau bertingkah laku terhadap orang,
benar-benar nomor satu. Saya berguyon pada anakku, kamu sudah mau jadi
pahlawan. Anakku yang sedang merajut selendang leher terlebih menundukkan
kepalanya dan berpikir sebentar, dia lalu menjawab dengan sungguh-sungguh:
“Guru pernah mengatakan sebuah pepatah, ketika pahlawan lewat, harus ada orang
yang bertepuk tangan di tepi jalan.” Dia pelan-pelan melanjutkan: “Ibu, aku
tidak mau jadi pahlawan, aku ingin jadi orang yang bertepuk tangan di tepi
jalan.” Aku terkejut mendengarnya dan mengamatinya dengan seksama. Dia tetap
diam sambil merajut benang wolnya, benang warna merah muda dipilinnya bolak
balik di jarum bambu, sepertinya waktu yang berjalan di tangannya mengeluarkan
kuncup bunga. Dalam hatiku terasa hangat seketika. Pada ketika itu, hatiku
tergugah oleh anak perempuan yang tidak ingin menjadi pahlawan ini. Di dunia
ini ada berapa banyak orang yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, namun
akhirnya menjadi seorang biasa di dunia fana ini. Jika berada dalam kondisi
sehat, jika hidup dengan bahagia, jika tidak ada rasa bersalah dalam hati,
mengapa anak-anak kita tidak boleh menjadi seorang biasa yang baik hati dan
jujur. Jika anakku besar nanti, dia pasti akan menjadi seorang isteri yang
berbudi luhur, seorang ibu yang lemah lembut, bahkan menjadi seorang teman
kerja yang suka membantu, tetangga yang ramah dan baik. Apalagi dia mendapatkan
ranking 23 dari 50 orang murid di kelasnya, kenapa kami masih tidak merasa
senang dan tidak merasa puas? Masih ingin dirinya lebih hebat dari orang lain
dan lebih menonjol lagi? Lalu bagaimana dengan sisa 27 orang anak-anak di
belakang anakku? Jika kami adalah orangtua mereka, bagaimana perasaan kami?...
[bodrexcaem]
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.ikadanewsonline.com/2012/02/ini-kisah-renungan-juara-1-di-otak-atau.html
Copyright www.ikadanewsonline.com Under Common Share Alike Atribution
Harap Cantumkan Sumber web Ini Jika Anda Copas: http://www.ikadanewsonline.com/2012/02/ini-kisah-renungan-juara-1-di-otak-atau.html
Copyright www.ikadanewsonline.com Under Common Share Alike Atribution
Tidak ada komentar:
Posting Komentar